Masalah kemiskinan adalah masalah pelik
yang senantiasa menghantui negara-negara yang sedang berkembang, termasuk
Indonesia. Kemiskinan menggambarkan suatu keadaan belum mampunya seseorang
(individu) untuk memenuhi kebutuhan pokok manusia (human basic needs) bagi
kelangsungan hidupnya secara wajar (Zain, 1999). Masalah ini menjadi pelik
karena bukan saja jumlahnya yang besar dan sulit berkurang, akan tetapi juga
tingkat kesenjangannya yang semakin lebar.
BPS mencatat bahwa jumlah penduduk
miskin di Kebumen pada tahun 2013 terbanyak nomor 3 se Jateng. Potret
kemiskinan di atas memperlihatkan bahwa paradigma pembangunan Pemerintah yang
mengacu pada strategi pertumbuhan disertai dengan pemerataan (growth with
equity) nampaknya mengalami kesulitan dan menemui banyak masalah dalam
menekan jumlah penduduk miskin. Apalagi
capaian tingkat kemiskinan pada akhir tahun ke lima RPJMD tersebut masih jauh
dari target awal, sebesar 19 persen (tahun 2015).
Berbagai program Penanggulangan
kemiskinan yang jumlahnya cukup banyak[1],
ternyata belum menjadi sebuah obat yang mujarab bagi pengentasan kemiskinan. Di
awal tujuannya mengurangi jumlah penduduk miskin secara massif, berbagai
program penanggulangan kemiskinan tersebut justru telah melahirkan berbagai
persoalan baru dalam masyarakat, seperti kecemburuan sosial, konflik antar
masyarakat, konflik antara masyarakat dan aparat desa, serta berbagai
permasalahan teknis lainnya.
Sekelumit
uraian di atas tentu saja menyisakan sebuah pertanyaan besar; mengapa persoalan
kemiskinan sampai hari ini masih belum tuntas, padahal waktu dan biaya yang
dikeluarkan oleh Pemerintah sangatlah besar[2]?
Seberapa efektifkah berbagai progam
penanggulangan kemiskinan yang selama ini dijalankan oleh Pemerintah?
Penyebab Kemiskinan
Konsep kemiskinan mencakup problema yang
multi kompleks dan dapat dilihat dari berbagai segi, misalnya selain ditandai
oleh rendahnya tingkat pendapatan dan konsumsi, juga ditengari oleh
keterbatasan kebutuhan yang menyangkut fungsi sosial (Zain, 1999). Friedman
(1979) dalam (zain, 1999) menyatakan bahwa kemiskinan merupakan kondisi
terbatasnya kesempatan kerja untuk mengakumulasikan basis kekuatan sosial atau
modal yang produktif seperti: tanah, perumahan dan peralatan lainnya,
terbatasnya jaringan sosial seperti dalam memperoleh kesempatan kerja,
pengetahuan, keterampilan, kesehatan, hubungan dan informasi, kesemuanya itu
diperlukan untuk mewujudkan kehidupan yang layak bagi manusia.
Permasalahan kemiskinan sejatinya adalah
sebuah permasalahan yang sangat kompleks dan bersifat multidimensional. Ia
tidak bisa hanya dilihat dari satu dimensi saja, akan tetapi juga harus dilihat
dari dimensi lain yang melingkupinya. Kemiskinan merupakan kondisi yang lahir
dari ketidakberdayaan seseorang atau masyarakat dari aspek ekonomi, sosial, dan
politik. Namun demikian, dilihat dari faktor penyebabnya kita dapat
mengkategorikan kemiskinan menjadi dua, yaitu kemiskinan kultural dan
kemiskinan struktural.
Kemiskinan
kultural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh adanya faktor-faktor adat atau
budaya suatu daerah tertentu yang membelenggu seseorang atau sekelompok
masyarakat tertentu sehingga membuatnya tetap melekat dengan kemiskinan.[3] Budaya
ini misalnya terkait dengan budaya malas bekerja, mudah menyerah pada nasib,
apatis, kurang memiliki etos kerja, berpandangan jika sesuatu yang terjadi
adalah takdir, dan lain sebagainya. Menurut Surbakti (Usman, 2006: p136),
kemiskinan kultural bukanlah bawaan melainkan akibat dari ketidakemampuan
menghadapi kemiskinan yang berkepanjangan.
Dalam
terminologi kultural, kemiskinan bukanlah sebab melainkan akibat. Sikap-sikap
seperti ini diabadikan melalui proses sosialisasi dari generasi ke generasi.
Padahal budaya kemiskinan tersebut mestinya bisa dikurangi atau bahkan secara
bertahap bisa dihilangkan dengan mengabaikan faktor-faktor adat dan budaya
tertentu yang menghalangi seseorang melakukan perubahan-perubahan ke arah
tingkat kehidupan yang lebih baik. Sehingga ketika budaya dan adat yang
membelenggu seseorang atau kelompok masyarakat untuk berubah “hilang” maka
dengan sendirinya kemiskinan itu juga akan berkurang atau bahkan hilang
Sementara itu, kemiskinan struktural
lebih dilihat sebagai sebuah ketidakberdayaan seseorang atau sekelompok
masyarakat tertentu yang disebabkan karena struktur ekonomi dan politik yang
tidak berpihak kepada mereka. Akibatnya, mereka berada pada posisi tawar yang
sangat lemah dan tidak memiliki akses untuk mengembangkan dan membebaskan diri
mereka sendiri dari perangkap kemiskinan. Suyanto (1995:59) yang merangkum
tulisan Soetandyo mendefinisikan kemiskinan struktural sebagai kemiskinan yang
ditengarai atau didalihkan bersebab dari kondisi struktur, atau tatanan
kehidupan yang tak menguntungkan. Dikatakan tak menguntungkan karena tatanan
itu tak hanya menerbitkan akan tetapi (lebih lanjut dari itu) juga
melanggengkan kemiskinan di dalam masyarakat.
Di
dalam kondisi struktur yang demikian itu kemiskinan menggejala bukan oleh
sebab-sebab yang alami atau oleh sebab-sebab yang pribadi, melainkan oleh sebab
tatanan sosial yang tak adil. Tatanan yang tak adil ini menyebabkan banyak
warga masyarakat gagal memperoleh peluang dan/atau akses untuk mengembangkan
dirinya serta meningkatkan kualitas hidupnya, sehingga mereka yang malang dan
terperangkap ke dalam perlakuan yang tidak adil ini menjadi serba
berkekurangan, tak setara dengan tuntutan untuk hidup yang layak, dan
bermartabat sebagai manusia.
Penanggulangan
Kemiskinan
Pemerintah
menyadari bahwa kemiskinan merupakan masalah yang sangat kompleks.[6] Kemiskinan
dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berkaitan, antara lain: tingkat pendapatan,
kesehatan, pendidikan, akses terhadap barang dan jasa, lokasi, geografis,
gender, dan kondisi lingkungan. Bahkan dalam dokumen perencanaan, secara jelas
tersurat bahwa kemiskinan tidak lagi dipahami hanya sebatas ketidakmampuan
ekonomi, tetapi juga kegagalan memenuhi hak-hak dasar dan perbedaan perlakuan
bagi seseorang atau sekelompok orang dalam menjalani kehidupan secara
bermartabat. Hak-hak dasar yang diakui secara umum meliputi terpenuhinya
kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih,
pertanahan, sumberdaya alam, dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakukan
atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan
sosial-politik, baik bagi perempuan maupun laki-laki.
Guna menjawab persoalan yang serius tentang persoalan kemiskinan, Pemerintah
Kabupaten Kebumen melalui Perbup No. 47 tahun 2015 secara khusus membentuk lembaga Unit Pelayanan
Terpadu Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (UPTP2K). Unit layanan ini
sejatinya adalah merupakan terobosan inovasi dari Sekretariat Harian TKP2KD
(Tim Koordinasi Percepatan Penanggulangan Kemiskinan Daerah), sebuah unit yang
khusus menangani dan merumuskan berbagai kebijakan penanggulangan kemiskinan
Daerah sebagai amanat Peraturan Daerah Kabupaten Kebumen No. 20 tahun 2008
tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar